Mengapa Wahabi Dibenci?
Pada asalnya istilah
‘wahabi’ tidak ada dasarnya dari syariat karena julukan -yang diberikan ahlu
bid’ah kepada Ahlus Sunnah ini- baru dikenal pada masa-masa belakangan, berbeda
halnya dengan istilah salaf atau salafy yang sudah dikenal pada masa hidup Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut penjelasan seputar wahabi:
Pengertian
Wahabi
Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada
setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul
Wahab. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada
namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama
wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu
dari nama-nama Allah yang paling baik (Asmaa’ul Husnaa).
Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama’ah
yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahabi menisbatkan diri mereka
dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Allah yang memberikan tauhid dan
meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.
Mengenal
Muhammad Bin Abdul Wahab
Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada
tahun 1115 H. Hafal Al-Qur’an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada
ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh
dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari
Al-Kitab dan As-Sunnah. Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang
terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi
berupa kesyirikan, khurafat dan bid’ah. Demikian juga soal menyucikan dan
mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang
benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya
bertawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma
yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para
sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah Shallallahu
’alaihi wasallam, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya
kepada Allah semata. Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah)
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta berdo’a (memohon) kepada
selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Qur’an menegaskan:
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak
memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab
jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk
orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106)
Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu
kali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada anak pamannya,
Abdullah bin Abbas:
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan
jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR.
At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya
kepada tauhid dan berdo’a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang
Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak
kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain.
Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang
shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya
sebagai perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya
sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.
Penentangan
Orang-orang Batil Terhadapnya
Para ahli bid’ah menentang keras dakwah tauhid
yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan,
sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah. Bahkan mereka merasa
heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan
Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan.” (Shaad: 5)
Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya
dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan
mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan
tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menjaganya dan memberinya
penolong, sehingga dakwah tauhid tersebar luas di Hejaz, dan di negara-negara
Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada
pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya
mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab
yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian
mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah menulis kitab
“Mukhtashar Siiratur Rasuul Shallallahu ‘alaihi wasallam“. Kitab ini bukti
sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah.
Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta
tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal
dihisab pada hari Kiamat.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab
beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur’an, hadits
dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan
kepada penulis (Syaikh Zainu), bahwa ada salah seorang ulama yang
memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari,
salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya.
Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah
mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin
Abdul Wahab.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di
negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’
Rasulullah berkata, ‘Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah,
dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Ibnu Hajar Al-’Asqalani dan ulama lainnya
menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal
itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di
situ Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang,
bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di
dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan sebaliknya, yang
tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan
karenanya pula Allah mengutus para rasul.
Sebagian ulama yang adil sesungguhnya
menyebutkan: Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang
mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang
beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh
Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang “Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah”, di
antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin ‘Irfan.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah
tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dari kaum
muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni
Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam
memerangi akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui
bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah (orang-orang bayaran) agar
mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap
muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka
maksudkan sebagai padanan dari tukang bid’ah, sehingga memalingkan umat Islam
dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo’a hanya semata-mata
kepada Allah.
Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa
kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah
satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan
kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.
Dahulu, orang-orang bodoh menuduh Imam Syafi’i
dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika rafidhah
(berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia
menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”
Maka, bila Wahabi dibenci karena mendakwahkan
tauhid dan memerangi kesyirikan serta kebid’ahan, katakanlah: SAYA WAHABI!
Sumber: Jalan Golongan yang Selamat, karya
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, terbitan Darul Haq cet. IV, Jumadil ‘Ula 1422
H / Agustus 2001 hal. 61-66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan menuliskan komentar anda...kritik dan saran membangun kami nantikan untuk kebaikan bersama